Saturday, March 30, 2013

Pajak


Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.

Pengusaha Kena Pajak adalah Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya.

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Masa Pajak adalah jangka waktu yang menjadi dasar bagi Wajib Pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang dalam suatu jangka waktu tertentu sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang ini.

Tahun Pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun kalender kecuali bila Wajib Pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun kalender.

Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam Masa Pajak, dalam Tahun Pajak, atau dalam Bagian Tahun Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.

Pajak Bumi Bangunan (PBB

Dasar Penghitungan Pajak
( Pasal 7 UU No. 12 Tahun 1985 jo. UU No.12 Tahun 1994).
Secara umum besarnya pajak yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOTKP)              
Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP)                                 

Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)                                                  
= 20% X NJOPKP (untuk NJOP < 1 Miliar); atau
= 40% X NJOPKP (untuk NJOP 1 Miliar atau lebih)
Besarnya PBB terutang = 0,5 % X NJKP

   XXXXX     
 XXXXX (-)
XXXXX     
     
 XXXXX     


XXXXX     









Sunday, March 10, 2013

Alasan Pemerintah 'Sulap' Rp 1.000 Jadi Rp 1

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menjelaskan beberapa alasan perlunya menyederhanakan angka nol dalam rupiah alias redenominasi mata uang. Alasan utamanya adalah penyederhanaan dalam pencatatan keuangan atau sistem akuntansi.

Demikian disampaikan Dirjen Perbendaharaan Kementerian Keuangan Agus Suprijanto saat ditemui di kantornya, Jalan Wahidin Raya, Jakarta, Jumat (7/12/2012).

"Yang utama untuk menyederhanakan. Karena kalau dengan denominasi yang besar menimbulkan inefisiensi dalam jual beli. Oleh karena itu, perlu disederhanakan," ujarnya.

Menurut Agus, dengan denominasi yang besar maka terlihat nilai mata uang rupiah menjadi rendah di mata dunia. Untuk itu, redenominasi dapat memberikan nilai tambah bagi kebanggaan bangsa.

"Padahal kita negara ke-16 dari size GDP. Masuk G-20. Tidak pantas kalau US$ 1 jadi Rp 9 ribu sekian, sementara negara lain masih satuan juga hitungannya. Ini memberikan rasa proud (bangga) atas mata uang kita yg merupakan simbol stabilitas ekonomi suatu negara," jelasnya.

Selain itu, lanjut Agus, secara teknologi informasi, redenominasi mata uang ini sangat dibutuhkan mengingat keterbatasan digit pada perangkat teknologi.

"Kalau denominasi terlalu besar dalam IT membutuhkan memori yang besar dan banyak alat yang tidak cukup digitnya. Di modul penerimaan negara yang ada di tempat saya saja, kita kekurangan digit. Jadi kita harus menyicil memasukkannya dan itu jelas tidak efisien, itulah kenapa perlu redenominasi," tegasnya.

Redenominasi merupakan proses penyederhanaan rupiah dengan mengurangi angka nol. Dalam kajian BI beberapa waktu lalu, angka nol yang 'dihilangkan' paling tepat 3 digit. Jadi Rp 1.000 nanti akan menjadi Rp 1. Namun semua masih dalam kajian yang akan dibawa ke DPR dalam bentuk RUU Redenominasi.

Sumber: Detik Finance

Pusat Kajian Ekonomi Terpadu UNY Adakan Kajian Redenominasi Rupiah

Demi menapaki sebuah tatanan ekonomi yang mampu bersaing secara global, nampaknya kebijakan demi kebijakan untuk menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang mandiri dan maju tetap gencar direalisasikan. Berangkat dari hasil riset World Bank yang menyebutkan bahwa Indonesia termasuk negara pemilik pecahan mata uang terbesar kedua di dunia setelah Vietnam, kebijakan baru berupa redenominasi mata uang rupiah saat ini sedang maraknya disosialisasikan. Bentuk redenominasi rupiah yang tengah digagas BI adalah menghilangkan tiga angka nol terakhir. Jadi, pecahan Rp 1.000, akan menjadi Rp 1. Namun, sikap pro-kontra tetap saja tak bisa dihindari. Mulai dari persoalan sejauh mana pentingnya menyederhanakan nilai rupiah, biaya sosialisasi, kesiapan masyarakat menerima kebijakan tersebut, hingga pada kekhawatiran masyarakat yang beranggapan bahwa redenominasi akan berujung kepada sanering. Menanggapi diskursus redenominasi, Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Negeri Yogyakarta (BEM FE UNY) terdorong untuk memfasilitasi sebuah forum intelektual di mana mahasiswa tetap memiliki peran aktif terhadap permasalahan ekonomi di Indonesia. “Justru ini menjadi bukti bahwa permulaan yang terlahir dari diri kita bisa mereduksi kultur apatisme dan menggugah kawan-kawan mahasiswa agar lebih kritis terhadap permasalahan yang ada di Indonesia,” ujar Kadept SosPol BEM FE UNY, Agus Purnomo, Jumat (1/3). Melalui program Pusat Kajian Ekonomi Terpadu (PUKET) yang digawangi Departemen SosPol BEM FE UNY, kajian “Redenominasi dan Pengaruhnya terhadap Perekonomian Indonesia” berhasil memancing sekitar 120 mahasiswa untuk hadir di Ruang Ramah Tamah FE UNY dan secara langsung diisi oleh Causa Iman Karana (Deputi BI Yogyakarta), Prof. Dr. Moerdiyanto , M.Pd., M.M. (Guru Besar FE UNY), dan Bambang Suprayitno (Dosen Pend. Ekonomi FE UNY), Kamis (28/2). Dalam hal ini, Causa menyampaikan bahwa masyarakat tidak perlu khawatir dengan kebijakan ini, karena redenominasi tidak sama dengan sanering. Redenominasi hanya mengalami perubahan pada angka nol dari rupiah sedangkan nilai dan harga masih tetap sama. Sosialisasi (Redenominasi) akan terus dilakukan, dari rencana awal pada tahun 2014 sampai Tahun 2022. (Handoko Tri Saputra)

Copas: http://fe.uny.ac.id/berita/pusat-kajian-ekonomi-terpadu-uny-adakan-kajian-redenominasi-rupiah